Laman

Pencarian

Rabu, 09 November 2011

Ketika nurani bicara


“Hai Nurdin, nanti kita dipanggil pak ustadz di pondok”, sahut Ale dari masjid. Segera aku masuk ke masjid dan langsung menghampirinya. “Ssstt, jangan keras-keras! Iya aku tahu nanti kita ke sana”, jawabku. Ale hanya diam saja sambil tersenyum kecut. Ah dasar si mulut besar. Aku dan Ale sudah lama berteman, aku sampai tak ingat sejak kapan. Tapi yang jelas sejak aku dan dia bertemu di pondok pesantren ini. Awalnya kulihat dia adalah sosok yang pendiam, namun setelah dia berteman denganku eh dia malah tambah njengkelno, tapi tetep lucu. Haha sungguh indah rasanya di pondok pesantren waktu itu. Tapi tak selamanya kita bersenang-senang, termasuk saat ini. Aku dan Ale lalu bergegas masuk ke pondok menemui pak ustadz. Katanya sih ada hal penting.

Sesampainya di pondok, kami pun langsung berbincang enam mata dengan pak ustadz. Ya hanya ada aku, Ale dan pak ustadz sendiri. Beliau langsung memulai pembicaraan. “Nurdin, aku ingin ngomong soal penting denganmu juga dengan Ale”, kata beliau dengan suara berat. “Ada apa emangnya pak ustadz?”, Ale pun langsung nyerocos memotong. “Sabar dengarkan dulu aku ngomong!”, jawab pak ustadz dengan nada setengah mangkel . Lalu beliau melanjutkan,”Begini, kita kan sebagai umat muslim harus menjalankan syariat Islam secara kaffah kan. Dan tidak ada keraguan sedikit pun di dalam hati kita mengenai hal itu. Juga dengan melihat sejarah perjuangan Rasulullah SAW yang tak kenal lelah, hendaknya kita juga mengikuti keteladanan beliau. Beliau telah menjadi panutan bagi setiap insan. Karena itu sunnah Rasulullah harus kita jadikan embun-embun penyejuk bagi kehidupan kita”. Aku tak mengerti dan semakin mbulet saja, maka ketika pak ustadz akan melanjutkan lagi maka segera kusela pembicaraannya. “Stop pak ustadz! Sebelum saya makin gak ngerti maka hendaknya pak ustadz langsung njelasin aja pokok masalahnya. Langsung to the point aja gitu”, kataku.

Sejenak beliau pun terdiam mendengar ucapanku tadi. Oh tidak, jangan-jangan beliau sakit hati karena perbuatanku. Tapi dugaanku ternyata tidak terbukti sama sekali, dan beliau pun melanjutkan kata-katanya yang mungkin masih tersangkut di tenggorokannya. “Atas keputusan majelis, maka aku menyampaikan kalau kalian berdua diberi tugas sebagai hamba Allah SWT yaitu BERJIHAD”. Perasaanku makin gak enak saja mendengar kata BERJIHAD itu. “Karena kalian sudah dibai’at dan disumpah, maka kalian yang akan diberi tugas jihad itu dengan jalan yang telah ditetapkan majelis. Tapi sebelum aku melanjutkan, apakah kalian sudah siap mendengarkan tugasnya?”. Aku hanya tertunduk, kulihat Ale mengucurkan keringat dingin. “Kami siap pak ustadz, apapun resikonya. Karena kami sudah disumpah”, jawabku. “Kalian akan diberi tugas untuk membunuh orang-orang kafir yang telah mengakibatkan kejahiliyahan di muka bumi ini. Kalian akan melakukan pengeboman untuk membunuh orang-orang kafir itu yang telah menghina dan merusak Islam. Kalian akan menjadi mujahid yang siap untuk berperang sampai titik darah penghabisan. Kalian tidak perlu bingung karena kami sudah menyiapkan semuanya. Mulai dari alat dan bahan bom pun sudah disiapkan dan dirakit, begitu juga sasarannya sudah jelas yaitu Kafe Alang Sari yang banyak ditempati orang bule juga orang-orang jahiliyah lainnya. Hanya kami belum menemukan orang yang tepat untuk menjadi eksekutor. Dan kami harap kalianlah yang akan menjadi eksekutor bom ini. Apakah kalian siap?”, tanya pak ustadz. “Kami siap apapun resikonya dan kami menerima perintah dari majelis dengan hati ikhlas dan tawakkal karena Allah SWT”, jawab Ale dengan yakin dan sungguh-sungguh. Sementara dia mengiyakan, aku justru agak ragu untuk melakukan tugas ini. Apakah pengeboman ini benar jihad? Tapi karena sudah disumpah, maka aku tak punya pilihan.

Setelah menerima perintah itu, aku dan Ale pun langsung membagi tugas. Aku sebagai eksekutor yang akan meletakkan mobil Carry yang sudah diisi dengan bom dan mengawasi keadaan sekitar. Sementara Ale yang akan memicu detector bomnya dari jauh jika keadaan sudah aman. Lalu kami akan kabur dengan menggunakan sepeda motor. Untuk penyamaran, kami akan mengenakan masker dan berpura-pura seperti layaknya orang biasa. Setelah perencanaan yang matang, aku dan Ale sekitar jam 1 malam bergegas menuju Kafe Alang Sari untuk melakukan pengeboman. Aku membawa mobil Carry yang sudah dipasangi bom, sedangkan Ale membawa sepeda motor mengikutiku dari belakang serta membawa detector bomnya. Sejenak aku yang mengendarai mobil melihat-lihat keadaan sekitar Kafe Alang Sari, dan akhirnya aku menemukan tempat yang tepat untuk meletakkan mobil yang sudah dipasangi bom itu. Kemudian aku turun dan berjalan seperti orang biasa seperti tak terjadi apa-apa, menuju ke tempat yang sudah dijanjikan oleh Ale. Aku cuma disuruh menunggu di sana. Akhirnya setelah 30 menit, Ale tiba dengan sepeda motornya. Di sini kami pun berbincang. “Hai Ale, apa kau tak merasa kalau jihad yang kayak gini itu dilarang agama. Bukannya jihad itu bisa dilakukan tanpa kekerasan? Apakah kita tidak salah langkah?”, tanyaku memberondong Ale. “Sudahlah, kita ini sudah yakin akan kebenaran yang sudah kita lakukan. Kamu tak usah ragu”, kata Ale. Ah, aku percaya dia. Dan tak ada persahabatan pun yang semurni persahabatn kami. Ale pun menekan detektornya, dan penerima sinyal yang berfungsi mengaktifkan bom yang dipasang di mobil Carry pun langsung merespon. Dan akhirnya DUUAARRR, terdengar suara yang sangat hebat bahkan bisa terdengar samapi tempatku berdiri. SUngguh bom luar biasa telah mengguncang Kafe Alang Sari.

“Ayo kita kabur!”. Tangan Ale mencengkramku dan kita pun pergi jauh meninggalkan tempat itu. Kami merencanakan pergi ke pondok untuk melapor kepada pak Ustadz mengenaikeberhasilan kami mengebom Kafe Alang Sari. “Alhamdulillah ternyata berhasil, kaulah mujahid yang sesungguhnya nak”, kata pak ustadz kepada kami berdua. “Iya sih pak ustadz, makasih”, jawabku sekenanya. Akhirnya setelah kami pamit, kami pun memutuskan pergi ke Grogol. Tempat itu jauh dari lokasi pengeboman sehingga kami mungkin akan selamat dari incaran kepolisisan. Di situ kami akan kos dan menetap. Terdengar berita pengeboman menyebar sangat cepat bahkan setelah kami mengebomnya, setelah 5 jam mungkin semua publik sudah tahu. Hatiku semakin was-was saja, setelah mendengar polisis telah menemukan mobil Carry yang dijadikan tempat bomnya. Dan juga kepolisian telah menggambarkan sketsa wajah pelaku yang diduga berjumlah dua orang. “Waduh, gimana ini Le? Aku takut kita tertangkap”. Ale pun langsung mereson ketakutanku, dan dia berkata,”Sudahlah, semuanya sudah ditakdirkan. Kita tak akan tertangkap. Jarak dari Grogol ke sana sangat jauh. Polisi tak akan menemukan kita kok”. Hatiku jadi tenang mendengarnya. Rencananya kami akan memulai hidup baru di sini. Aku akan bekerja jadi tukang ojek, sedangkan Ale berjualan parfum. Kami pun bersyukur.

Kami jalani kehidupan bahagia ini, setidaknya selama dua bulan. Namun sepandai-pandainya tupai melompat toh akan jatuh juga. Saat hari Jumat itu, tiba-tiba ada orang yang mengetuk pintu kos kami. Setelah kubuka ternyata polisi. Kami sangat kaget dan tak bisa kabur lagi. Ternyata mereka menggunakan jasa intel untuk memata-matai kami selama dua bulan ini. Dan sketsa wajah pelaku pengeboman pun persis dengan wajah kami. Kami ditangkap. Dan diseret di pengadilan. Tak mampu berkata-kata lagi aku ini. Setelah persidangan ternyata aku dijatuhi hukuman nyawa alias hukuman mati karena terbukti meletakkan dan menyisipkan detector yang memicu ledakan bom. Sedangkan Ale juga tak kalah berat. Dia dihukum penjara seumur hidup karena “hanya” memencet detector bom itu. Dua bulan kami di dalam satu sel bersama. Dan sehari sebelum eksekusiku dia berkata sambil menangis,”Maafkan aku saudaraku, aku tak tahu akan jadi begini. Aku tak bisa membantumu apa-apa lagi. Aku cuma bisa menangis di sini”, dia mengatakn itu sambil meratap. “Sudahlah, mungkin ini sudah menjadi suratan nasibku, aku akan pergi. Mungkin aku minta doa padamu supaya aku dimasukkan ke dalam orang-orang yang beriman di sisi-Nya”. “Aku akan selalu mendoakanmu kawan, selalu dan selalu. Huhu”, kembali dia menangis. Saat algojo menggiringku dan akan membawaku ke tempat eksekusi, Ale memekik,”Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar saudaraku. Allah selalu di sampingmu”. Aku tersenyum, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Saat sudah sampai ke tempat eksekusi, mataku ditutup dan moncong senapan mengarah kepadaku. Aku ingat pekikan itu, aku berteriak,”Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar”. Dan DORR, peluru menembus dadaku. Aku merasa sudah melakukan sebuah kesalahan selama ini. Aku pu menutup mata, meniggalkan sejuta harap dan kenangan itu. Selamat tinggal pak ustadz, selamt tinggal Ale, semoga aku selalu berada disisi orang-orang yang beriman.


16 komentar:

  1. pilihan temanya berani bener gan! jadinya rawan salah persepsi nih.
    tapi overall bagus gan! :)

    BalasHapus
  2. Fiksi to ini wkwk tak pikir beneran :p :p

    BalasHapus
  3. Dear.

    hhmmsss wah alur cerita yang bagus dan menarik... waloo dengan menggunakan background cerita Islam... semoga gak salah kaprah ato salah tafsir...


    regards.
    ... Ayah Double Zee ...

    BalasHapus
  4. owalah ini cerita fiksi yang kamu tunjukin ke aku itu tah sob, sekarang aku jadi tw.., makasih sob..

    BalasHapus
  5. saya setuju dengan komentarnya @Sitti Rasuna Wibawa.

    BalasHapus
  6. Postingan yang cukup menantang. Kata2 yang digunakan menarik. :)

    BalasHapus
  7. Salam kenal...
    Fiksinya menarik, tapi tiap alenia terlalu panjang yg bikin malas bacanya. Kalau boleh saran, dibagi menjadi alenia lagi biar gampang membaca dan menikmatinya,.

    Izin follow ya
    Terima kasih... :)

    BalasHapus
  8. hahaha keren deh ! Wajib dibaca untuk para teroris yg mengatasnamakan agama islam saat melakukan pengeboman ! bukankah islam itu damai ?? Saya muslim tapi tidak pernah setuju dg apa yg dilakukan para teroris,saya benci teroris !

    BalasHapus
  9. Banyak ragam dalam mengartikan jihad.. mudah-mudahan kita semua tetap selalu berada dalam jalan yang benar dan bukan salah kaprah.
    Trims sudah berkunjung.. salam kenal..

    BalasHapus
  10. bagus banget fiksinya...kayak cerita beneran gitu...met kenal yahh...

    BalasHapus
  11. mantap gan bisa bikin cerita dengan topik vital kayak gini... :) i appreciate you...

    BalasHapus
  12. wahhsekarang blognya maju reg ...
    jadi ngiri ... haha

    BalasHapus
  13. seperti kata mbak una ini cerita fiksi atau beneran sob:)

    BalasHapus
  14. Hmmm...ini fiksi atau hanya menceritakan kembali peristiwa bom bali dgn versi pribadi? agak mirip :D

    BalasHapus